widgeo.net

Jumat, 04 Februari 2011

Artikel


Al Qur’an dan Pendidikan
Berbicara tentang Al-Qur’an sesungguhnya adalah juga berbicara tentang pendidikan yang justru lebih utuh dan mendasar. Jika pendidikian dimaksudkan adalah untuk membawa anak manusia menjadi lebih sempurna yang dilakukan secara terus menerus dan tidak mengenal henti, maka Al-Qur’an sesungguhnya diturunkan ke bumi melalui Muhammad saw, dimaksudkan memberikan petunjuk, penjelasan, rakhmat, pembeda dan obat bagi manusia agar tidak tersesat dalam hidupnya. Artinya, dengan Al-Qur’an menjadi selamat, di dunia dan di akhirat.
Sedemikian erat hubungan antara pendidikan dan Al-Qur’an, maka terasa tidak mungkin nyampai pada sasaran jika berbicara pendidikan tanpa menyinggung Al-Qur’an. Berbicara pendidikan tanpa Al-Qur’an sama artinya berbicara tentang membangun manusia tanpa petunjuk dan arah, maka akan mengalami kesesatan. Kalau pun tokh dilakukan, akan sekedar sampai pada sisi-sisi artivak, belum menyentuh aspek laten, yang lebih substantif. Hal itu terlihat seperti yang terjadi pada saat ini, berbicara pendidikan hanya sampai pada upaya mengantarkan peserta didik menjadi berpikiran cerdas dan terampil. Selanjutnya, apakah dengan cerdas dan terampil sekaligus mereka akan berbudi pekerti luhur, adil, jujur dan peduli pada lingkungan, ternyata belum tentu. Sebab, kenyataan sehari-hari yang dapat dilihat menunjukkan bahwa tidak sedikit orang berhasil menjadi pintar lupa akan orang lain dan bahkan juga lupa pada dirinya sendiri.


Seluruh isi Al-Qur’an berbicara tentang pendidikan. Surat Al-Fatihah yang disebut sebagai induk Al-Qur’an memberikan tuntutan hidup menyeluruh sekalipun secara garis besar, mengajarkan tentang kasih sayang, bersyukur, wilayah kehidupan manusia ---tidak saja didunia tetapi juga sampai di akhirat, penguasa kehidupan dan jagad raya ini, perlunya petunjuk dalam kehidupan, dan kesadaran sejarah. Manusia yang berkualitas atas dasar ukuran-ukuran kemanusiaan seharusnya memiliki wawasan itu.
Pengertian pendidikan di zaman sekarang ini telah disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah "usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara".
Pendidikan yang dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas di atas adalah pendidikan yang mengarah pada pembentukan manusia yang berkualitas atau manusia seutuhnya yang lebih dikenal dengan istilah insan kamil. Untuk menuju terciptanya insan kamil di atas, maka pendidikan yang dikembangkan menurut Mendiknas (2006: xix) adalah pendidikan yang memiliki empat segi yaitu : olah kolbu, olah pikir, olah rasa, dan olah raga.
Olah qolbu adalah pendidikan akhlak mulia dan berbudi pekerti luhur sehingga peserta didik memiliki kepribadian yang unggul. Ini adalah aktualisasi dari potensi hati manusia dan merupakan bagian pendidikan yang paling mendasar dan paling penting. Dalam istilah pendidikan, hal itu termasuk merupakan aspek afeksi, yaitu bagaimana membangun manusia berhati baik dan prakarsanya menjadi baik, yang ini semua tergantung atau karena didasarkan pada niat yang baik, sebagaimana bunyi Hadits Nabi: " semua perbuatan (amal) berangkat / tergantung dari kualitas niatnya". Niat yang baik dan positif akan bisa menjadikan manusia bersifat produktif. Inilah yang dalam istilah popular saat ini disebut dengan kecerdasan spiritual.
Olah pikir berarti membangun manusia agar memiliki kemandirian serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Olah pikir berorientasi pada pembangunan manusia yang cerdas, kreatif dan inovatif.
Olah rasa bertujuan menghasilkan manusia yang apresiatif, sensitive,serta mampu mengekspresikan keindahan dan kehalusan. Ini sangat penting karena tidak akan ada rasa syukur manakala seseorang tidak memiliki apresiasi terhadap keindahan dan kehalusan.
 Sedangkan olah raga merupakan proses pembangunan manusia sehingga bisa menjadikan dirinya sebagai penopang bagi berfungsinya hati, otak dan rasa.
Dalam salah satu ayat Al-Qur’an diterangkan bahwa tugas rasulullah adalah yatluu alaihim ayatihi, wayuzakkihim, wayuallimuhumul kitaab wal hikmah. Ada empat tahap yang seharusnya dilakukan oleh seorang sebagai pendidik, yaitu (1) tilawah, membaca jagad raya ini dengan berbagai tingkatannya. Membaca atau iqro’ sesungguhnya adalah awal kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik. Jagad raya ini adalah bacaan, dan bahkan dalam al Qur’an dinyatakan bahwa penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam adalah sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Peserta didik seharusnya diajak untuk melihat, mengamati dan memperhatikan itu semua untuk mengenalnya. Inilah proses tilawah yang harus dilalui.(2) Tazkiyah, adalah mensucikan. Seorang anak terdidik harus dijauhkan dari apa saja yang mengotori, baik jiwa maupun raganya. Peserta didik harus bersih dan selalu dibersihkan. Apa yang dimakan harus bersih, baik, halal dan berberkah. Demikian pula, jiwanya tidak boleh terkotori oleh semua penyakit hati seperti kufur, iri hati, dengki, tamak, suka marah, dendam, permusuhan, dan sebagainya. (3) taklim, pendidik memberikan pengajaran. Mengajarkan sesuatu yang dibutuhkan, mulai dari memberi nama, istilah, konsep, proposisi, dalil-dalil tentang berbagai hal yang dikuasai oleh seorang pendidik. Betapapun pendidik adalah bukan seorang rasul atau nabi. Pengetahuan mereka terbatas, maka mereka hanya akan mampu mengajar tentang apa yang diketahui. Guru sebagai pendidik tidak akan dibebani kecuali di dalam batas-batas kemampuannya. Allah memberikan ilmu kepada manusia, termasuk para guru, kecuali yang sedikit. Di sini terdapat keterbatasan-keterbatasan. Hal yang terbatas itulah yang diajarkan guru kepada para muridnya. (4) Hikmah. Pendidik harus mengajarkan tentang hikmah. Dalam al Qur’an terdapat kisah, yaitu tentang kehidupan Lukman al Hakim. Ia adalah seorang yang menyandang hikmah. Ia mengajarkan tentang tauhid, berbuat baik kepada kedua orang tua, dan juga sesama umat manusia. Hikmah bukan sekedar ilmiah, tetapi di atas itu. Dengan hikmah, maka orang justru menjadi selamat.
Mendidik dalam Al-Qur’an ternyata meliputi aspek yang amat luas. Mendidik bukan saja mencerdaskan, melainkan juga melembutkan hati dan menjadikan peserta didik terampil. Mendidik akan membawa peserta didik tumbuh dengan penampilan, baik lahir maupun batinnya, secara sempurna. Melalui pendidikan, maka peserta didik menjadi sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang berketuhanan dan berkemanusiaan sekaligus. Para peserta didik menjadi seorang yang beriman, berakhlak mulia, beramal sholeh dan mampu menjalani hidup di tengah-tengah masyarakatnya, baik yang terkait dengan ekonomi, politik, sosial, hukum dan berbudaya. Pendidikan dalam Al-Qur’an ternyata berdimensi kemanusiaan yang lebih luas, mendasar dan sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar